السّلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرّحمن الرّحيم

الحمد لله ربّ العالمين والصّلاة والسّلام على أشرف الأنبياء والمرسلين سيّدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين


Adapun kemudian dari itu, ana merasa sangat gembira kerana dengan izinNya masih lagi diberikan kesempatan & kemampuan untuk sekali lagi membina blog bagi mencoretkan pengalaman ana yang mudah-mudahan akan dapat memanfaati para pembaca sekalian, insyAllah.


Pun begitu, ana yang jahil ini sangat-sangat mengharapkan teguran & pembetulan yang ikhlas serta penuh ukhuwwah Islamiyyah dari para pembaca sekiranya ada dari catatan ana nanti mengandungi kelemahan-kelemahan & kesilapan-kesilapan. Mudahan dengan teguran & pembetulan dari saudara semua, segala kesilapan & kelemahan dapat ana perbaiki. Jadi ana terlebih dahulu mengucapkan ribuan terima kasih di atas kesudian & keikhlasan saudara itu. Semoga Allah t.a. menilainya sebagai satu amalan jariah di sisiNya.


Wa Billahit Taufiq Wal Hidayah,


والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

10 November, 2011

TASAWUF & SYARIAT

Seluruh pengamal tasawuf yang mengamalkan pengamalan tarikat muktabarah sepakat bahwa landasan utama peramalan itu adalah pengamalan syariat yang kuat. Semua lembaga tarikat Muktabarah berlandaskan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sangat menekankan pengamalan syariat yang sempurna, adalah satu-satunya jalan untuk berhasilnya pengamalan tarikat itu. Sementara ada sebagian orang yang berpura-pura mengaku pengamal tasawuf tapi tidak mengamalkan syariat, mengatakan mereka telah sampai ke tingkat yang tinggi, telah sampai ke tingkat musyahadah yang dibuktikan dengan beberapa kekeramatan-kekeramatan.

Pengakuan yang demikian ini adalah sesat, karena sangat bertentangan dengan Al Qur’an dan Al Hadis, dan tidak sesuai dengan aliran Ahlus Sunnah wal Jamaah dan berbeda atau sangat bertentangan dengan kenyataan yang dilaksanakan oleh para tokoh sufi pengamal tarikat Al Muktabarah. Pengakuan-pengakuan yang demikian ini umumnya datang dari orang yang berpura-pura pengamal tasawuf atau datang dari pihak-pihak yang tidak senang kepada jalan yang ditempuh oleh para sufi.

Para sufi menekankan peramalannya harus didasarkan kepada at Taslim (penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT), At Tafwidh (berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT), At Tabarri Minan Nafsi (Pembebasan diri dari hawa nafsu), dan At Tauhid bil Khalqi wal Masyi’ah (mengesakan hanya Allah sajalah yang Maha Pencipta dan Maha Berkehendak).

Berbeda dengan golongan Qadariah yang mendasarkan peramalannya kepada Al Fi’lu (perbuatan adalah kehendak yang bersangkutan), al Masyi’ah (semua kehendak adalah kehendak yang bersangkutan), al Khalqah (semua yang diciptakan adalah ciptaan yang bersangkutan) dan at Takdir (semua takdir itu tergantung kepada yang bersangkutan). Mereka ini semuanya, mendasarkan apa saja yang mereka lakukan tergantung kehendak mereka.

Di dalam Al Qur’an banyak sekali dalil yang menunjukkan kebenaran landasan peramalan para sufi tersebut. Hasilnya pun kelihatan dengan pengamalan yang sungguh-sungguh yang didasarkan kepada syariat yang kuat, para sufi memperoleh kesenangan, kemanisan dalam beriman dan beribadat, ketentraman dan ketenangan. Apa yang diperoleh para sufi ini merupakan buah, hasil ibadatnya yang merupakan rahmat dari Allah SWT. Apa yang diperoleh oleh para sufi ini belum tentu, atau bahkan kecil sekali kemungkinannya dapat diperoleh oleh orang lain. Letak perbedaannya menurut Al-Ghazali, para sufi lebih gigih dalam riyadlah dan mujahadah. Mereka tidak memadai dengan pengamalan-pengamalan syariat wajib saja, tetapi harus juga mengamalkan syariat-syariat sunnah. Para sufi tidak hanya meninggalkan yang haram dan makruh saja, tetapi juga meninggalkan hal-hal yang mubah (kebolehan), yang tidak berfaedah apalagi kalau hal itu dapat membawa kepada melalaikan syariat.

Ibnu Khaldun menyatakan, berkat riadlah dan mujahadah yang sungguh-sungguh, maka para wali memperoleh tanda-tanda kemenangan yang besar, memperoleh kekeramatan-kekeramatan, sebagaimana hal itu juga diperoleh para sahabat Rasulullah As Sabiqunal Awwalun. Orang tidak boleh tertipu dan terpedaya dengan adanya kekeramatan-kekeramatan ini sebelum dibuktikan kuatnya syariat yang bersangkutan. Kekeramatan ini tidak menjadi tujuan dan tidak pula menjadi ukuran. Yang menjadi tujuan adalah dekat kepada Allah, mendapat ridla-Nya dan yang menjadi ukurannya mengamalkan syariat dengan berhakikat sempurna.

Pengamal tasawuf yang telah memperoleh kesenangan, kemanisan dalam beriman dan beribadat, ketentraman dan ketenangan adalah suatu bukti bahwa dia telah menjalani atau menempuh jalan yang benar dan mengamalkan syariat yang haq.

Dalam buku “Al Munqiz Minadlalal” diuraikan tentang para sufi yang banyak memberikan pendapat atau komentar berkenaan tasawuf dihubungkan dengan syariat, ini disebutkan di dalamnya.

a.       Imam Al Ghazali
Al Ghazali mengatakan, “Ketahuilah bahwa banyak orang yang mengaku, dia adalah menempuh jalan (tarikat) kepada Allah, tapi yang sesungguhnya, yang bersungguh-sungguh menempuh jalan itu adalah sedikit. Adapun tanda orang yang menempuh jalan yang sungguh-sungguh dan benar, diukur dari kesungguhannya melaksanakan syariat. Kalaupun ada orang yang mengaku bertasawuf dan bertarikat dan telah menampakkan semacam kekeramatan-kekeramatan, melalaikan atau tidak mengamalkan syariat, ketahuilah bahwa itu adalah tipu muslihat, sebab orang yang bijaksana (orang tasawuf) mengatakan, Jikalau kamu melihat seseorang mampu terbang di angkasa dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat, maka ketahuilah bahwa sebenarnya ia itu adalah setan.”

b.      Abu Yazid Al Bustami, menyatakan:
Andaikata kamu melihat seseorang yang diberi kekeramatan hingga dapat naik ke udara, maka janganlah kamu tertipu dengannya sehingga kamu dapat melihat dan meneliti bagaimana dia melaksanakan perintah dan larangan agama serta memelihara ketentuan-ketentuan hukum agama dan bagaimana dia melaksanakan syariat agama.

c.       Sahl at Tasturi
At Tasturi mengungkapkan tentang pokok-pokok tasawuf yang terdiri dari tujuh pokok jalan (tarikat), yaitu berpegang kepada Al Kitab (Al Qur’an), mengikuti Sunnah Rasul, makan dari hasil yang halal, mencegah gangguan yang menyakiti, menjauhkan diri dari maksiat, selalu melazimkan tobat dan menunaikan hak-hak orang lain.

d.      Junaid al Baghdadi
Al Junaidi mengomentari orang yang mengaku ahli makrifat tetapi dalam gerak geriknya meninggalkan perbuatan-perbuatan baik dan meninggalkan mendekatkan diri kepada Allah, maka beliau mengatakan “Ketahuilah bahwa dia itu adalah setan”. Selanjutnya beliau mengatakan; Ucapan itu adalah ucapan suatu kaum yang mengatakan adanya pengguguran amalan-amalan. Bagiku hal itu merupakan suatu kejahatan yang besar, dan orang yang mencuri atau orang yang berzina adalah lebih baik daripada orang yang berpaham seperti itu.

e.      Abul Hasan As Syazili
As Syazili mengatakan; jika pengungkapanmu bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah Rasul, maka hendaklah engkau berpegang kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul itu, sambil engkau mengatakan kepada dirimu sendiri “sesungguhnya Allah SWT telah menjamin diriku dari kekeliruan dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul”. Allah tidak menjamin dalam segi pengungkapan, ilham, maupun musyahadah (penyaksian), kecuali setelah menyesuaikan perbandingannya dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasul.

Sebagai kesimpulan, semua pengamalan kaum sufi harus mengikuti semua Nash Al Qur’an dan As Sunnah dan meneladani amaliah-amaliah Rasulullah, sebagai panutan tertinggi para sufi.

Sabda Rasulullah SAW, Nabi SAW ditanya tentang suatu kaum yang meninggalkan amalan-amalan agama, sedangkan mereka adalah orang-orang yang berbaik sangka kepada Allah SWT. Maka jawab Nabi SAW, “Mereka telah berdusta. Karena jika mereka berbaik sangka, tentu amal perbuatan mereka juga adalah baik.” (Dr. Abdul Halim Mahmoud 1964: 161 – 167).

Tiada ulasan:

Catat Ulasan